Kenalin namaku Anisa Tamaya. Di
dekat rumahku ada sebuah rumah tua di Yogyakarta di seputaran Jalan Magelang
yang cukup terawat yang katanya dulu digunakan oleh orang Jepang. Ada juga yang
mengatakan rumah itu berpenghuni gaib. Dulu tetanggaku Pak Suryo ada yang
mendengar suara gamelan dan suara sinden sedang menyanyikan tembang jawa saat
berangkat ronda malam. Ketika melihat penari taledhek dengan pakaian lengkap
menoleh padanya seketika Pak Suryo pun lari terbirit-birit meninggalkan
kentongan dan ceret kopi.
Sejak kecil aku ingin sekali
memasuki bangunan itu, aku sangat tertarik untuk mengetahui seluk-beluk
bangunan tua itu. Berkali-kali aku ingin memasukinya, tapi selalu saja Kakek
Parman menghalangi aku, beliau sesepuh di kampung tempatku bermukim. Sama
seperti saat ini lagi-lagi kakek menghalangi aku dan membawa aku ke rumahnya.
Tapi hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
“Kek, kenapa aku tidak boleh
masuk kesana! Kenapa kakek selalu menghalangi aku?” ujarku dengan wajah penuh
harap jawaban. Kakek memandangku dengan wajah mendung sembari menyodorkan
secangkir teh dengan asap mengepul.
“Kakek hanya bisa menasehati
kamu, Nduk! Jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke tanah bangunan itu.” Ujar
Kakek Parman sembari menghirup tehnya.
“Tapi kenapa Kek?”
“Kakek hanya tidak mau kamu
kenapa-napa, Nduk? Wis bengi ndang muleh (sudah malam cepat pulang).”
—
“Nanti malam kita kerjain tugas
bareng ya, Van!”
“Ok. Aku jalan duluan ya!”
“Yaelah aku ditinggalin. Tega
bener kamu, Van!” ujarku dengan wajah kesal memandang Ivan semakin menjauh.
“Sorry sorry, aku ada misi
penting! Besok aja kita pulang bareng.” Teriak Ivan dari kejauhan.
Hari ini keadaan berbeda dari
biasanya, gerbang bangunan tua itu terbuka. Kesempatanku masuk terbuka lebar.
Kesempatan… ini kesempatan… kapan lagi aku bisa masuk. Aku selalu bawa
alat-alat yang aneh di dalam tasku senter, korek api, air minum, obat luka,
tali, cutter dan batu baterai. Lumayan lengkap lah, aku tak akan lama-lama
sebentar hanya sebentar saja. Hanya melihat isi bangunan itu.
Krreeeekk…
“Hallo ada orang apa tidak?”
Pohon-pohon besar menyambutku,
nampak tegap mengintai setiap manusia yang datang dan dua beringin kembar
menambah angker tempat ini seolah menyimpan misteri tersendiri. Niatku mulai
goyah, antara pulang atau tetap melanjutkan misiku? Bangunannya sungguh masih
kokoh dan terlihat suram, arsitekturnya sungguh kental dengan nuasan khas
Belanda. Ditambah lagi ada patung yang kian menambah seram, matanya seperti
mengintaiku.
Pandanganku tertuju pada pintu
bangunan tua ini. Terbuka, siapa yang masuk ya? Aku menelusuri ruangan demi
ruangan. Remang-remang, tidak terlihat jelas. Nampak samar-samar ada satu
ruangan yang menjorok ke dalam tanah. Aku berdebat dengan hati keciku! Masuk
enggak masuk enggak masuk.
Aku langkahkan kakiku
perlahan-lahan tiba-tiba bulu kuduku berdiri dan aku berlari. Tanpa sadar aku
membuka ruangan bawah tanah dan masuk di dalamnya. Gelap. Untung saja aku
membawa senter. Aku sorotkan ke semua sisi ruangan nampak Ivan tergolek lemas
di sudut ruangan.
“Van. Bangun Van!” teriakku
histeris melihat dia tak berdaya. Aku menguncang-nguncang badannya tetap dia
tak juga membuka mata. Tercium bau wangi melati yang lembut dan hawa dingin
yang mencekam. Aku pun menguncang tubuhnya lagi dan lagi, akhirnya ia sadar.
“Van, kamu nggak apa-apa kan?”
ucapku khawatir dan membantunya untuk duduk.
“Sekar, Sa! Sekar.”
“Sekar kenapa?”
“Tadi aku sama adikku kesini mau
lihat bangunan tua ini. Dia masuk ruangan ini dulu dan aku ikutin ternyata dia
nggak ada di sini. Padahal aku tadi lihat dia masuk kesini. Aku malah terjebak
di sini.”
Sarup-sayup terdengar suara yang
merdu melantunkan lagu jawa.
“Lingsir wengi sliramu tumeking
sirno
ojo tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
wojo lelayu sebet”
Seketika bulu kuduku berdiri.
Suara yang tak lazim dikumandangkan di tempat ini. Hawa dingin pun mulai
menjalari tubuhku. Dan Ivan hanya mematung memanggil nama Sekar.
“Van, kamu dengar suara orang
nembang nggak?”
“Suara apa, Sa? Nggak ada suara
apa-apa, Anisa.”
“Ada coba kamu dengerin! Han…
Hantu!”
Brruuukk…
“Anisa…” ucap Ivan sayup-sayup
terdengar di telingaku.
—
Perempuan itu tampak cantik,
bajunya berwarna merah senada dengan selendang sampurnya. Dia sungguh elok
rupawan. Dan aroma tubuhnya harum melati.
“Ka… kamu siapa?” tanyaku suara
tersendat-sendat.
“Aku Sekar.” jawabnya seraya
memainkan selendang sampurnya.
“Kenapa kamu menggangu aku? Apa
aku telah mengusikmu.”
“Jangan takut, aku tidak akan
melukaimu. Tidak, kamu sama sekali tidak mengusik aku. Aku hanya ingin kamu
membantu aku!” ujarnya sembari menari-nari.
“Membantu apa?”
“Kumpulkan jasadku dan kuburkan
di satu tempat.”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kamu orang baik. Aku mati
dan tubuhku dipotong menjadi tiga bagian. Kepalaku di kubur di pohon beringin
kembar, tangan dan kaki di halaman belakang, tubuh ada di ruangan tempat kamu
terkunci tadi.”
“Kenapa kamu bisa mati dan
arwahmu gentayangan?”
“Saat itu aku diundang Tuan
Hiroshi Kubata, dia petinggi di daerah ini waktu itu. Aku menari di
kediamannya. Hari itu dia sangat mabuk sampai dia mengajak aku berbuat hal
buruk. Aku menolaknya, tapi dia tidak terima dan memaksaku. Dia membunuhku dan
memotong tubuhku.” Ungkapnya dengan tangisan yang membuat aku merinding.
“Baik, saya akan bantu sebisaku.”
“Adiknya ada di rumah.” terdengar
Sekar mengucapkannya lirih dan semakin hilang suaranya.
—
“Aniasa. Aniasa.” Ucap Ivan
sembari menguncang-guncang tubuhku. Kepalaku terasa pening, aku mengumpulkan
kesadaranku.
“Van. Penunggu tempat ini meminta
kita meguburkan jasadnya secara layak, Van!”
“Haaa… Kamu nggak mengigau kan,
Sa?” ucap Ivan tak percaya.
“Bener Ivan.” Ucapku
meyakinkannya. Aku memandang keadaan di sekitarku di sudut ruangan terdapat
sekop dan cangkul. Nampak Sekar menunjukkan tempat dimana dia di kuburkan. Aku
dan Ivan segera mengambil alat itu dan aku mengikuti Sekar.
Ivan mencangkul di ruangan dimana
kami terkurung dan menemukan kerangka tubuh. Aku membuka jaketku dan kami
membawanya ke luar bangunan tua ini.
“Van, kurang dua tempat.”
“Iya. Aku kira kamu ngibul!”
“Aku nggak ngibul, Van. Ngapain
aku ngibul, kita cari lagi.”
“Ayo. Biar cepat selesai. Aku
merinding lama-lama di sini!”
Setelah itu aku dan Ivan menuju
tempat ketiga kami menggalinya menemukan tangan, kaki dan kepala sudah
terkumpul bersama tubuh Sekar. Pohon beringin kembar seolah menghalangi kami
untuk mengubur Sekar secara layak. Angin bertiup kencang dan ranting-ranting
ikut mengamuk melarang kami pergi membawa tulang belulang Sekar.
“Van, kita kubur dimana?”
“Ehm… Di tempat pemakaman umun
gimana?”
“Oke. Kita kubur disana. Kita
lapor ke pak RT dulu.”
—
Aku, Ivan dan Sekar adiknya Ivan
ikut melayat dan mendoakan Sekar sang Penari Taledhek. Kakek Parman pun ikut
melayat. Kakek mendekatiku dan menceritakan bahwa dia melihat penari itu
dibunuh saat dia menjadi pesuruh Tuan Hiroshi. Kakek diancam untuk tidak bilang
pada siapapun. Sampai saat ini Tuan Hiroshi tidak menceritakan pada siapapun
dan kini dia sudah kembali ke negaranya. Kami pun meninggalkan pemakaman umum.
Dari kejauhan nampak Sekar tersenyum padaku. Dan aku pun meninggalkan tempat
itu dengan perasaan lega.