KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang
pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
mata Pelajaran Seni Budaya yang berjudul “Krinik Sebagai Filosofi Politik Orang
Bungo”
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini
tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban dalam penulisan Makalah
serta sebagai bahan pelajaran dan
pendidikan.
Demikian pengantar yang dapat penulis
sampaikan dimana penulis pun sadar
bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala
hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti
dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa
dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah
ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi
seluruh kalangan yang membutuhkan.
Wassalam,
Muara Bungo, 05 Februari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Krinok dalam Perspektif filsafat Politik.................................... 3
B. Perkembangan Krinok................................................................ 7
C. Perkembangan Krinok di Era Otonomi Daerah......................... 9
BAB III PENUTUP...................................................................................... 14
A. Kesimpulan................................................................................ 14
B. Saran.......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melestarikan nilai budaya bangsa sebagai sistem
gagasan dan pengetahuan, beragam orientasi sosial mesti menjadi pilihan
kebijakan agar identitas kebudayaan
masyarakat dapat senantiasa diwariskan dan dikembangkan. Menganalisis
perkembangan Krinok di Kabupaten Bungo sangat berhubungan dengan perubahan
sosial. Bahwa identitas suku bangsa akan terus menguat bilamana kemampuan
masyarakat tinggi dalam mempertahankan nilai-nilai spesifik daerah baik
tradisional maupun telah mengalami modernisasi sepanjang waktu.
Menurut data Badan Pusat Statistik, diketahui Indonesia
terdiri dari 1.128 suku bangsa (http://www.jpnn.com). Berarti bangsa Indonesia
memiliki 1.128 atribut primordial yang berupa fisik maupun non fisik. Wujud
kebudayaan yang bersifat non fisik seperti karya seni berupa lagu, nyanyian,
dongeng, tarian, tutur, kriya, hingga batik di Negara Indonesia ini terus
tumbuh dan berkembang.
Aneka atribut primordial non fisik sebagai realitas
dimasyarakat Kabupaten Bungo dapat dimaknai sebagai perwujudan kebudayaan
masyarakat kabupaten bungo yang selalu mempengaruhi prilaku dan tindakan dalam
kehidupan sampai sekarang, misalnya Krinok.
Di era desentralisasi saat ini, pemberdayaan dan
penguatan aneka atribut primordial fisik maupun non fisik sebagai realitas
dimasyarakat bungo sangat dimungkinkan. Kabupaten Bungo, secara geografis
terletak antara 101˚27’ sampai 102˚30’ Bujur Timur dan antara 01˚08’ sampai
01˚55’ Lintang Selatan. Jumlah penduduk pada tahun 2010 sekitar 303. 135 jiwa.
Luas wilayah 7.160 Km² terbagi ke dalam 17 kecamatan (Bungo dalam angka, 2010).
Hal ini memberikan dampak positif terhadap pengelolaan budaya. Karena kondisi
geografis didaerah ini potensial dalam memunculkan wujud-wujud kebudayaan
spesifik sebagai modal sosial pembangunan wilayah.
Realitas budaya di Kabupaten Bungo merupakan orientasi
nilai budaya orang bungo yang saat ini diduga masih cenderung belum optimal
penguatannya, katakanlah krinok misalnya. Krinok sendiri berwujud kesenian
daerah belakang. Secara abstrak, krinok dapat dipahami sebagai proses interaksi
manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, manusia dengan
kebahagiaan, manusia dengan kesedihan dan manusia dengan cinta kasih.
Dalam pendewasaannya, krinok masih menemukan hambatan
sehingga belum mampu berkembang baik sampai pelosok perkotaan. Hal ini tentu
disebabkan oleh persepsi publik tentang dinamika pelestarian budaya terutama
pengelolaannya.
Pada masa mendatang, diperlukan pengembangan budaya dan
kebijakan penunjang baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, maupun dari
kelompok-kelompok tertentu agar krinok tetap eksis dan mengalami
perubahan-perubahan positif konstruktif dan membangun karakter bangsa melayu,
di Kabupaten Bungo.
Krinok kontemporer tidak hanya diarahkan untuk mampu
menjadi salah satu kesenian tradisional yang diaransemen ulang, tetapi lebih dari
itu yakni sebagai media komunikasi politik, media pembelajaran, interaksi
simbolik kesemuanya itu merupakan wujud
dari filsafat politik orang bungo. Karena menurut soetriono dan hanafie (2007),
bahwa filsafat termasuk kebudayaan.
Dalam pengembangannya, semua unsur masyarakat dikaitkan
dengan tiga pilar demokrasi yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat mesti
mengambil bagian dalam perekayasaan sosial agar nilai sosial, budaya dan
politik lokal yang berkearifan dapat terus dipertahankan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Krinok dalam perspektif filsafat politik
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani
semenjak abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan disekitar mereka dan tidak
menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan.
Banyak pertanyaan muncul, mengapa filsafat lahir di
Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana yaitu di Yunani, tidak seperti di
daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta, atau ulama sehingga secara
intelektual orang lebih bebas berdialektika.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof
ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi
filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid
Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar
karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada
sejarah filsafat (usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun
istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, terdiri atas dua kata
philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
Secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran
(usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf). Dalam bahasa arab disebut falsafa
dengan wazan (timbangan) (bakhtiar, 2010).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat
menunjukkan pengertian pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang
memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual (usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Sebelum Socrates ada satu kelompok sophist (kaum sofis)
berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas
dan menggunakan hujah-hujah keliru dalam kesimpulan. Sehingga kata sofis
mengalami reduksi makna yaitu berpikir menyesatkan. Socrates, karena kerendahan
hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang
dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan).
(usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian
yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis meliputi Ilmu
pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi.
Ilmu eksakta dan matematika. Ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Sementara
filsafat praktis mencakup norma-norma, urusan rumah tangga, sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk
memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti
filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu
(usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah
masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika, ketika seseorang menanyakan
pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya
tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa
dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan
argumentasi dan alasan tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari
proses-proses sebelumnya ini dimasukkan kedalam sebuah dialektika. Dialektika
ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof
adalah:
·
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
·
Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir
dan dasar secara nyata.
·
Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
·
Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian
dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
a) Sifat
menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu
hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu
ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa
sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates
menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
b) Sifat
mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu
apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
c)
Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal
sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat
spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat
dipisahkan mana yang logis atau tidak
(usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Dari paradigma diatas, krinok bukan suatu ilmu
pengetahuan. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan. Krinok hanya merupakan hasil
dari proses dialektika ilmu pengetahuan.
Sir Isacc Newton, tidak hanya percaya pada kebenaran
yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat hasil penelitian terdahulu
seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian
tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak
sebagaimana diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada
keparipurnaan, yang ada hanya pencarian dinamis, selalu mungkin berubah dan tak
pernah selesai. “ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu
sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai
betulbetul terang” (usupress.usu.ac.id/files/Filsafat.pdf).
Jadi konklusinya adalah bahwa krinok merupakan
refresentasi dan generalisasi dari hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, dan Inteligensi tentang kondisi masyarakat di
Kabupaten Bungo yang kemudian dituangkan dalam senandung.
Dari sudut pandang Sir Isac Newton pulalah mengapa
kemudian lirik krinok mengalami dinamika. Berbagai definisi filsafat dikaitkan
dengan krinok, dapat diambil kesimpulan bahwa Krinok adalah sebuah produk dari
filsafat politik orang bungo dan bukan sebuah proses, tetapi filsafatlah yang
menjdi proses. Karena filsafat merupakan alur berpikir kritis dalam penciptaan
krinok yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip
logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan
apakah informasi itu diterima atau ditolak tentunya dalam kontek lokal kemudian
disampaikan dengan cara bersenandung.
Filsafat politik, menurut rodee, dkk (2009), bahwa
filsafat politik merupakan tindakan politik yang melibatkan beberapa nilai
politik pokok yang mendasarinya. Filsafat politik plato tertuju pada
nilai-nilai yang dianggap penting bagi warga Negara yang baik dan adil. Secara
normatif filsafat politik berkaitan dengan implikasi normatif dari organisasi
politik dan tingkah laku-cara bagaimana seharusnya Negara dan masyarakat
diorganisir dan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertingkah laku, inilah
nilai dasar manusia.
Dalam senandung krinok, mengatur banyak sekali prilaku
normatif sebagai nilai dasar manusia.
B. Perkembangan Krinok
Dinamika krinok di Kabupaten Bungo berkaitan erat
dengan perkembangan kebudayaan melayu jambi dan minangkabau. Kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia oleh karenanya kebudayaan dengan
sendirinya akan mengalami perubahan dan perkembangannya seiring dengan
kehidupan manusia. Perkembangan diarahkan demi kepentingan manusia karena
kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia sendiri.
Kebudayaan dari suatu kelompok sosial tidak secara
komplit ditentukan oleh lingkungan fisik saja, namun lingkungan fisik tersebut
sekedar memberikan peluang untuk terbentuknya sebuah kebudayaan. Dari waktu ke
waktu kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalam hal ini
telekomunikasi) dapat berperan dalam kehidupan setiap manusia (Setiadi, 2008).
Dinamisasi zaman mendorong terjadinya
perubahan-perubahan di segala bidang termasuk dalam hal kebudayaan,
sehingga kebudayaan kelompok sosial
tertentu akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini akan menimbulkan
konflik antara kelompok-kelompok menghendaki reformis dengan kelompok
konservatif. Suatu komunitas dapat saja menginginkan perubahan dalam
kebudayaan, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman saat ini. Namun
perubahan kebudayaan sering menjadi suatu penyimpangan. Interpretasi ini
mengambil dasar pada adanya budaya baru tumbuh dalam komunitas mereka
selanjutnya, bertentangan dengan keyakinan sebagai penganut kebudayaan
tradisional selama turun-temurun
(Setiadi, 2008).
Essensi dalam proses pengembangan kebudayaan ialah
dengan adanya kontrol atau kendali terhadap prilaku regular (tampak) kemudian
ditampilkan oleh penganut kebudayaan. Karena prilaku nyata cenderung tolak
menolak dengan budaya dalam kelompok sosialnya (Setiadi, 2008). Krinok
merupakan salah satu produk peradaban yang telah mengalami standarisasi nilai,
sejalan dengan perkembangan manusia dalam kebudayaan melayu Jambi.
Masyarakat bungo yang mencapai tahap kebudayaan
tertentu telah mencapai tingkat peradaban tertentu pula dicirikan dengan
tingkat penguasaan Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Peradaban
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian atau
unsur-unsur kebudayaan yang dianggap halus, indah, dan maju. Misalnya
perkembangan IPTEKS, kepandaian manusia dan sebagainya dimana tiap bangsa dunia
memiliki karakter kebudayaan yang khas maka tak heran bila sebuah Negara hanya
unggul IPTEKnya saja, atau keseniannya (Setiadi, 2008).
Krinok merupakan hasil sebuah hubungan konfliktual
fenomenal, karena kemajuan pola pikir manusia di masyarakat menjadi nilai
keindahan. Selanjutnya mengalami perubahan dan pertumbuhan kebudayaan. Perubahan
kebudayaan itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal yakni:
1)
Perubahan lingkungan alam
2)
Perubahan yang disebabkan oleh adanya kontak
dengan suatu kelompok lain
3)
Penemuan (discovery)
4)
Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat
atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah di
kembangkan bangsa lain di tempat lain
5)
Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa
memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan
baru, atau karena perubahan pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.
Namun perubahan kebudayaan tentunya merupakan perubahan
yang memberikan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan bukan sebaliknya, yaitu
memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut (Setiadi, 2008).
Krinok secara social, memberikan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan lokal,
bukan memusnahkan manusia sebagai pencipta kebudayaan.
Krinok berkembang awalnya di Dusun Rantau Pandan
Kecamatan Rantau Pandan. Kemudian Dusun Rantau Keloyang Kecamatan Pelepat
Kabupaten Bungo Propinsi Jambi.
Datuk Idris, di Dusun Rantau Keloyang menceritakan
sejarah krinok, sepengetahuannya yang diperoleh melalui bertanya kepada
orang-orang tua yang sudah biasa berkrinok. Tetapi saat ini orang-orang tua itu
telah banyak meninggal. Beliau menceritakan bahwa:
“Pada zaman dahulu, hidup seorang insan saling
mencintai. Pihak laki-laki adalah anak raja kemudian, perempuan adalah orang
biasa-biasa atau miskin. Setelah mereka menjalin hubungan percintaan maka
diketahui oleh orang tua laki-laki kemudian marah dengan perempuan dan tidak
menyetujui hubungan mereka. Sang perempuan patah hati, karena malu iapun lari
dari kampong, pergi ke sebuah bukit. Di Bukit tersebut dia mencurahkan
kesedihannya dengan bersenandung.
Pada saat perempuan tersebut bersenandung, tiba-tiba
sang laki-laki pujaanya lenyap/hilang entah kemana. Kemudian keluarga laki-laki
mengadu kepada Rio untuk menuntut perempuan tersebut. Tetapi perempuan tersebut
mengatakan, dia tidak tahu bahwa laki-laki pujaannya hilang. Maka dari itu, Rio
mengatakan kepada keluarga laki-laki kalau perempuan ini tidak bersalah dan
tidak bisa dituntut karena laki-laki tersebut hilang sendiri”.
Dari sejarah krinok yang dituturkan oleh datuk idris,
menurut widhagdo, (1994) bahwa krinok merupakan manifestasi dari hubungan antar
manusia dalam cinta kasih, keindahan, penderitaan, keadilan, pandangan hidup,
tanggung jawab, kegelisahan, dan harapan. Datuk idris tidak mengetahui secara
pasti tahun berapa kejadian itu, siapa nama pemuda dan pemudi, siapa orang
tuanya, tinggal disana, sistem pemerintahan saat itu apa, serta rionya siapa
belum dapat diketahui secara pasti.
C. Perkembangan Krinok Di Era Otonomi
Daerah
Perubahan sosial merupakan gejala umum yang melekat
pada setiap masyarakat. Otonomi daerah di Indonesia juga merupakan hasil dari
sebuah perubahan sosial politik dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perubahan
yang terjadi dalam masyarakat biasanya akan menimbulkan ketidaksesuaian antara
unsur-unsur sosial, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai
dengan fungsinya bagi masyarakat bersangkutan. Berbeda dengan Wilbert moore
memandang perubahan sosial sebagai perubahan struktur sosial, pola prilaku dan
interaksi sosial. Perubahan kebudayaan mengarah pada unsur-unsur kebudayaan
(Setiadi, 2008).
Krinok merupakan wujud kebudayaan yang tidak berbentuk
benda mengandung pesan penuh hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, dan Inteligensi. Tentunya dikaitkan dengan sosial budaya maka
krinok merupakan abstraksi dari interaksi manusia dengan manusia, manusia
dengan alam sekitar, dan menggambarkan hubungan manusia dengan kebahagiaan,
manusia dengan kesedihan dan manusia dengan cinta kasih.
Otonomi daerah seperti sekarang ini mestinya menjadi
peluang bagi Daerah Kabupaten Bungo untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
potensi daerah terkhusus masalah sosial dan budaya. Secara normatif melalui
kebijakan politik lokal. Krinok akan terus menguat dan eksis, setidaknya untuk
tatanan lokal kontekstual sebagai produk filsafat politik orang bungo.
Dalam kerangka otonomi daerah ini pula, Komunitas
Sastra Aliran Batang Bungo, mencoba mengembangkan krinok secara modern dengan
menggunakan media filsafat politik sebagai proses kreasi penciptaan lirik
krinok. Fenomena lokal (local phenomenon dialectica) yang bersifat dialektis
menjadi kajian dalam penciptaan material krinok. Sebagai contoh lirik krinok
yang telah mengalami proses filsafat politik seperti dibawah ini:
SELENDANG MAYANG NEGERI ANGSA PUTIH
Penguasa Adil, Jujur dan Amanah Cipt:
Mulia Jaya (Aliran Batang Bungo)
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
ee yo i allaa
Hoooooooooooooo
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ini cerito dari negeri nyo jambi iii ala iyooo
Seorang rajo gilo kuaso, angkuh
merusuh memegang selendang mayang
Nyo bukanlah rajo adil, jujur dan
amanah yoooo ae badan
Iyo Rajo negeri selampit delapan
muara keruh
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Selendang mayang renda emas angsa
putih tanah pilih
Oi kanti ngan banyaaak lah malang yo
badan
Sepucuk jambi sembilan lurah ee iyo i
allaa
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
ee yo i allaa
Hoooooooooooooo
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii putri angsa putih iyo puti masurai
Penguasa kerajaan angsa putih turun
ke bumi beri peringatan
Muara keruh dalam ancaman iyoo ya
allah ampunilah kami
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Demi masa akan mengukir bahwa
kejujuran
Menghancurkan cadas keras iyoo malang
lah kau badan
Haruslah jujur pada diri sendiri,
lingkungan, dan tuhan
Kejujuran itu harus terus disuarakan,
sebab manusia sejati harus menyuarakan kejujuran setandas-tandasnya
Dalam lirik krinok diatas, menceritakan tentang
kepemimpinan dan pengelolaan kekuasaan dalam sebuah sistem pemerintahan
kerajaan yang jauh dari nilai kebijaksanaan berupa keadilan, kejujuran dan
amanah. Dalam pengamatan, agaknya penulis lirik ini berlandaskan pada
pernyataan Sir Isac Newton yang menyatakan “ku tekuni sebuah subjek secara
terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan,
sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.
Dalam lirik krinok ini, pengelolaan kekuasaan dalam
sebuah sistem pemerintahan kerajaan negeri angsa putih harus didasarkan atas
kejujuran pada diri sendiri, lingkungan, dan tuhan. Kejujuran itu harus terus
disuarakan, sebab manusia sejati harus menyuarakan kejujuran
setandas-tandasnya.
Krinok diatas telah dipentaskan dalam Festival Seni
Tradisional Melayu Jambi yang di pentaskan dalam pementasan teater oleh
Komunitas Sastra Aliran Batang Bungo kemudian mendapat apresiasi dari dewan
juri sebagai peserta berpenampilan terbaik dan lirik krinok kreatif tahun 2010
di Taman Budaya Jambi.
PEMILU BERSAUDARO Cipt. Mulia Jaya (Aliran Batang
Bungo)
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii ey yo ala
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Muara bungo bumi langkah serentak limbai seayun yoala
Pesta demokrasi pemilihan bupati iiiiiiii yo
pemilukada bersaudaro
Jangan lupo gunokan hak suaro, jangan idak serto
memilih pemimpin kito.......
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Pilihan boleh beda tapi persatuan harus tetap dijago
Agar negeri kito ko bak cando surgo bukan memupuk api
nerako
Hinggo dimato kanti hilang muko, dak bacahayo basilau
mato....
Oi datuk ngan banyak,
kecik idak besebut namo, besak idak besebut gelanyo
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Pemilukada bungo kiniko basuci hati baputih raso
Jangan balinang air mato bilo dak dipecayo rakyat,
kalu menang jangan sok kuaso
Karno rakyat jugokan binaso
Setiap kerjo akan dipertanggung jawabkan dihadapan
tuhan
Yo tuhanku jadikanlah negeri ko, negeri yang aman
dan sentosa
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Satu, duo, tigo, empat, sayang semuonyo, elok galonyo
Jangan coblos galo, rusak pulo kerteh suaro iyo...ey
ala
Pilihlah pemimpin sarupo sifat rasulullah penghulu
sekalian alam
Jangan pilih pemimpin maling teriak maling, kagek kito
terpelanting
Hooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiii
Jangan bersikut-sikut bae gawe, gek bungo jadi benalu
Memang elok adokan perubahan biak cukup syarat dan
rukunnyo
Lanjutkan kemajuan, benahi kekurangan dan tuntaskan
pembangunan
Bia tacapai masyarakat mandiri, adil dan sejahtera
harapan kito semuo
Insya allah mari kito satukan niat dan tekad untuk
bungo lebih baik
Kajian suksesi kepemimpinan politik lokal di Kabupaten
Bungo Pada Tahun 2011, juga mendapat perhatian dalam pengembangan krinok
sebagai filsafat politik orang bungo yang di tampilkan oleh Komunitas Sastra
Aliran Batang Bungo, pada waktu debat kandidat Bupati Bungo jilid II di Ruang
Aula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bungo, dan diliput oleh
Televisi Republik Indonesia Stasiun
Transmisi Jambi. Acara debat kandidat Bupati Bungo jilid II diselenggarakan
oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bungo.
Dalam lirik ini diceritakan tentang Visi Pemilihan Umum
Bupati Bungo yaitu Mewujudkan Persatuan Melalui Persaudaraan Dalam Pemilihan
Umum Bupati Bungo Yang Jujur Dan Adil. Pesan politik dalam lirik ini mencoba
menyampaikan nilai-nilai persatuan, persaudaraan, kejujuran, keikhlasan, etika
politik, monitoring dan evaluasi pembangunan, dan tentang teknis penggunaan
kartu suara.
MENURUN GUNUNG JELATANG MENGALIR KE LUBUK SURUNG Cipt.
Mulia Jaya (Aliran Batang Bungo)
Oooooiiiii e yo oiiiiii
Gunung jelatang parahyangan tinggi.
Sakti alam kerinci negeri para depati. Pergi kembara mengembang negeri
Melangkahkan kaki tinggalkan tepian
suci. Penghulu parit nan bersudut empat. Sutan syiah sakarawo yang terhormat
Melepas angin melesat cepat. Ananda
sultan tenggiling karamoyudo putra keramat
Ooooiiii iiiiii yo e alaaa
Pegi bejalan menurut hati, pegi
memenuhi janji-janji
Lah bulat ayi dek pembuluh, lah bulat
kato dek mufakat
Karang setio selalu dijago, kelak
diwarisi untuk anak cucu
Batin mengarang ke ulu buat, hati
menangis meniti jalan sunyi. Berlinang si air mato sepanjang aliran batang
bungo
Ooooiiii iiiiii yo e alaaa
Lajulah kau wahai biduk tujuh depo, lalu mudik ke hilir
Menurut alur alir batang air, nan bagumbak tenang ke
pinggir. Bawalah nan sebatang diri, menyusun hidup dikemudian hari. Gunung
jelatang kutinggal sudah, berat nianlah rasonyo hati. Tesurung tebing bialah
mati, namun langkah idakkan babalek lagi
Ooooiiii iiiiii yo e alaaa
Berenanglah kau buayo kosombo, bia nak tahu sedihnyo
hati. Berenanglah kau buayo putih, bia nak tahu merahnyo hati. Kalu ado lubuk
nan teluang, berbukit pulo di atasnyo
Disitulah tapak dicencang, kaki dijejak, disitu semak dicacah.
Bialah lengang jalan pulang, gunung jelatang tetap dikenang
Krinok diatas, dipentaskan pada acara pisah sambut
Bupati Bungo tahun 2011. Krinok ini, menjelaskan tentang sejarah Lubuk Surung
di Dusun Baru Lubuk Mayan Kabupaten Bungo. Sejarah Lubuk Surung memiliki
keterkaitan erat dengan Kerajaan Depati Empat Delapan Helai Kain dari Gunung
Jelatang Parahyangan Tinggi yang sekarang menjadi Desa Hiang Tinggi Kecamatan
Sitinjau Laut Kabupaten Kerinci.
Dalam lirik krinok ini menceritakan perjalanan Sultan
Tenggiling Karamoyudo dari Kerajaan Depati Empat Delapan Helai Kain Gunung
Jelatang Parahyangan Tinggi, mencari daerah baru untuk dikembangkan sehingga
dapatlah lubuk surung sebagai daerah pengembangan wilayah. Dalam sejarah lubuk
surung menceritakan kepemimpinan Sultan Tenggiling Karamoyudo yang jujur, adil
dan amanah, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Dusun Lubuk Mayan dahulu kala
sebelum masuknya penjajahan Jepang dan Belanda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) Krinok
sebagai filsafat politik orang bungo merupakan tindakan politik yang melibatkan
beberapa nilai politik pokok yang mendasarinya, yaitu nilai-nilai yang dianggap
penting bagi warga masyarakat bungo yang baik dan adil. Secara normatif
filsafat politik berkaitan dengan implikasi normatif dari organisasi politik
dan tingkah laku-cara bagaimana seharusnya Negara dan masyarakat bungo
diorganisir dan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertingkah laku, inilah
nilai dasar manusia.
b) Krinok
sebagai filsafat politik orang bungo berarti upaya orang bungo untuk memahami
tingkah laku segala sesuatu fenomena sosial, budaya dan politik secara
sistematis, radikal, dan kritis lalu disampaikan dengan cara bersenandung.
c) Krinok
sebagai produk dari filsafat politik orang bungo dan bukan sebagai proses.
Filsafatlah yang menjdi proses penciptaan lirik krinok.
d Faktor
sosial, budaya dan politik, yang mempengaruhi perkembangan krinok sebagai
filsafat politik orang bungo
e) Strategi
pengembangan dan pemberdayaan komunitas sastra dapat dijadikan cara dalam
pengembangan krinok sebagai filsafat politik orang bungo.
B. Saran
a)
Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo perlu
melakukan kajian mendalam pengembangan krinok sebagai filsafat politik orang
bungo.
b)
Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo perlu
mendukung aksestabilitas kegiatan sastra oleh komunitas sastra yang fokus pada
pengembangan krinok sebagai sebagai filsafat politik orang bungo.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Bungo dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo, 2010.
Bungo Dalam Angka
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat
Ilmu. Rajawali Pers. Jakarta
Rodee, dkk. 2009. Pengantar
Ilmu Politik. Jakarta, Rajawali Pers
Setiadi, M. Elly. et. al. 2008. Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. CV. Andi Offset.
Yogyakarta
Widagdho, Djoko. 1994. Ilmu
Budaya Dasar. Bumi Aksara, Jakarta
Waskito. AA. 2009. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. PT.
Wahyu Media, Jakarta
Wiyono, Hadi Eko. 2007. Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap. Palanta, Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455
http://potensidaerah.ugm.ac.id/?op=berita_baca&id=103
http://usupress.usu.ac.id/files/Filsafat%20Ilmu%20dan%20Metode%20Riset_Normal_bab%201.pdf