RUANG
PERINATOLOGI
R.S.U.D
CHATIB QUZWAIN SAROLANGUN
AKADEMI
KEBIDANAN AMANAH
MUARA BUNGO
T.A
2012/2013
KATA PENGANTAR
Asalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan,
tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah
Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul ”Penangganan Berat Bayi lahir Sangat Rendah”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar, yang telah
memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah
semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini dapat
lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca.
Muara Bungo, 12 Maret 23
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Bayi prematur
masih merupakan masalah
yang penting dalam
bidang perinatologi, karena berkaitan dengan kejadian mortalitas dan
morbiditas masa neonatus. Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan dengan usia
kehamilan di bawah 37 minggu (Markum dkk, 1991). Berdasarkan kurva pertumbuhan
intrauterin dan Lubchenko, maka kebanyakan bayi prematur akan dilahirkan dengan
berat badan yang rendah (Latt, 1984). Bayi berat lahir rendah (BBLR) dibedakan
atas bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), yaitu bila < 1500 gram, dan
bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR), yaitu bila <1000 1996="" dan="" gram="" monintja="" p="" u="">1000>
Dengan
makin pesatnya perkembangan bidang perinatologi, makin banyak bayi kecil yang
terselamatkan. Di negara berkembang, angka kematian bayi BLSR sangat
menurun hingga mencapai
5%. Pemberian nutrisi
pada bayi-bayi kecil
tersebut merupakan suatu tantangan, karena nutrisi yang sebelumnya
didapat langsung dari plasenta kini harus diberikan peroral (Aminullah, 1997).
BAB II
ASUHAN
KEBIDANAN
2.1 Definisi
Bayi berat badan lahir rendah
adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang
dari 2500 gram, sedangkan bayi berat badan lahir sangat rendah mempunyai berat
badan lahir kurang dari 1500 gram. Dahulu neonatus dengan berat badan lahir
kurang dari 2500 gram atau sama dengan 2500 gram disebut prematur. Pada tahun
1961 oleh World Health Organization (WHO) semua bayi yang baru lahir dengan
berat lahir kurang dari 2500 gram disebut low birth weight infant, sedangkan
yang kurang dari 1500 gram disebut very low birth weight infant.
2.2 Epidemiologi
Khusus untuk masalah berat badan
lahir sangat rendah, sampai saat ini masih banyak ditemukan bayi lahir dengan
berat badan lahir sangat rendah dengan berbagai penyebab. Dimana bayi berat
badan lahir sangat rendah akan mengalami banyak masalah yang akhirnya
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas bayi (Sitohang, 2004).
Di negara-negara
maju angka kejadian
kelahiran bayi prematur
dengan berat badan lahir sangat
rendah adalah sekitar 6-7%. Di negara yang berkembang angka kematian ini kurang
lebih dari 3 kali lipat. Di Indonesia kejadian bayi prematur belum dapat
ditentukan secara pasti namun angka di rumah sakit Cipto Mangunkusumo berkisar
antara 22-24% dari semua bayi yang dilahirkan pada 1 tahun (Sitohang, 2004).
2.3 Etiologi
Di bawah ini terdapat beberapa etiologi dari bayi
dengan berat badan lahir sangat rendah (Sitohang, 2004) :
1. Faktor Ibu
a. Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan
kehamilan, misalnya perdarahan anterpartum, trauma fisik dan psikologik,
diabetes melitus, toksemia gravidarum dan nefritis akut.
b. Usia ibu
Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada
usia kurang dari 20 tahun, dan multi gravida yang jarak kelahiranya terlalu
dekat. Kejadian terendaj iada pada usia antara 26-35 tahun.
c.
Keadaan sosial ekonomi
Keadaan ini sangat berperan terhadap timbulnya
prematuritas. Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah.
Hal ini disebabkan oleh keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
Demikian pula kejadian prematuritas pada bayi yang lahir dengan dari perkawinan
yang tidak sah, ternyata lebih
tinggi dibandingkan dengan
bayi yang lahir
dari perkawinan yang sah.
2. Faktor Janin
Hidramnion,
kehamilan ganda dan kelainan kromosom
3. Faktor Lingkungan
Tempat tinggal di dataran tinggi, radiasi dan
zat-zat beracun.
2.4 Fisiologi
Selama hari-hari pertama setelah
lahir, bayi-bayi risiko tinggi (pada tulisan ini dibatasi pada bayi prematur
dengan berat badan lahir sangat rendah) akan berhadapan dengan berbagai situasi
sulit. Pasien dengan masalah akut seperti distres pernapasan, duktus arteriosus
persisten, dan hiperbilirubinemia memerlukan dukungan nutrisi yang maksimal.
Oleh karena itu asupan nutrisi perlu mencukupi untuk mengganti kerusakan dan
regenerasi jaringan. Selanjutnya karena fungsi saluran cerna dan ginjal yang
belum matang serta kebutuhan adaptasi metabolik untuk menghadapi kehidupan
ekstra uterin akan menyebabkan terbatasnya penyediaan nutrien untuk
pemeliharaan jaringan dan pertumbuhan. Selama trimester ketiga kehamilan
penyediaan nutrisi dipersiapkan untuk menghadapi usia kehamilan sampai 40
minggu. Lemak dan glikogen disimpan sebagai persiapan energi
siap pakai untuk
menghadapi kekurangan kalori.
Cadangan besi disiapkan untuk mencegah terjadinya
anemia defisiensi sampai bayi berumur 4-6 bulan. Demikian pula kalsium dan
fosfor di deposit dalam tulang. Bayi yang lahir kurang bulan mempunyai cadangan
nutrisi yang minimal dan kebutuhan nutrien per kg lebih tinggi dibandingkan
bayi cukup bulan. Bayi berat kurang dari 1,5 kg mempunyai komposisi tubuh
kira-kira 83-89% air, 9-10% protein, dan 0,1-5% lemak. Selama beberapa hari
setelah lahir bayi akan kehilangan berat badan teutama terjadi karena
sedikitnya asupan kalori dan kehilangan cairan ekstra selular. Kebutuhan energi
juga bertambah karena adanya pemecahan protein endogen di otot-otot skeletal
dan sedikitnya cadangan lemak. Oleh karena itu asupan protein dan kalori
eksogen yang tidak adekuat dapat mengancam jiwa bayi kurang bulan yang sakit.
Penelitian menunjukkan bahwa asupan nutrien pada awal kehidupan mempunyai
dampak pada perkembangan bayi umur 18 bulan (Johnson, 1994).
Kemampuan bayi untuk
mengkoordinasi menghisap dan menelan baru terlihat pada usia kehamilan 34
minggu. Kemampuan ini tampaknya lebih berhubungan dengan umur pasca konsepsi
daripada parameter berat badan. Latihan yang diberikan pada bayi kurang bulan
tampaknya tidak dapat menstimulasi kemampuan ini menjadi lebih matang pada usia
konsepsi yang lebih awal. Motilitas sistem gastrointestinal tergantung dari
kematangan sistem syaraf. Pada usia kehamilan 24 minggu esofagus meunjukkan
pola peristalik yang tidak terkoordinasi, saat usia kehamilan cukup bulan
peristalitik esofagus menjadi cukup matang untuk mendorong makanan ke arah gaster. Sfinkter esofagus bagian
bawah bayi kurang bulan masih lemah dan kemampuan untuk mencegah refluks
gastroesofagus sangat kurang. Gaster sendiri baru mencapai tingkat kematangan
pada trimester ketiga. Koordinasi gerakan peristalitik dari antrum ke pilorus
belum baik sehingga sering terjadi antiperistalik yang dapat menimbulkan refluks
gastroesofagus.
Selain itu waktu pengosongan
lambung bayi kurang bulan juga lebih panjang dan volume gaster lebih kecil.
Adanya pola koordinasi yang masih kurang baik karena belum matangnya usus
menyebabkan bayi kurang bulan sering mengalami intoleransi makanan yang mempunyai
kemampuan untuk mencerna
nutrien dalam bentuk
kompleks. Untunglah bayi manusia memperoleh ASI yang merupakan nutrisi
yang mudah diserap dan dapat memenuhi kebutuhan nutrien sampai umur 6 bulan.
Hanya saja untuk bayi berat lahir kurang dari 1500 gram dibutuhkan ASI yang
difortifikasi (Johnson, 1994).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kemampuan
Nutrisional Bayi Berat
Badan Lahir Sangat Rendah
a. Karbohidrat
Neonatus mempunyai kemampuan
terbatas dalam digesti karbohidrat kompleks karena rendahnya kadar amilase
pankreas. Bayi kurang bulan dapat langsung menggunakan glukosa
baik secara enteral
maupun parenteral. Ambilan
glukosa usus sudah terlihat
sejak usia kehamilan
10 minggu. Tetapi
pasokan karbohidrat sebagai sumber kalori seluruhnya dari glukosa
akan menyebabkan usus bayi berisiko untuk mengalami kerusakan mukosa karena
mendapat cairan hiperosmolar. Karbohidrat utama yang ditemukan pada susu
mamalia adalah disakarida jenis laktosa. Seperti disakarida lainnya (sukrosa,
maltosa, isomaltosa), laktosa harus dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh
enzim laktase sebelum diabsoprsi dalam
bentuk monosakarida. Enzim sukrase dan maltase dibentuk sangat awal pada usia
kehamilan dan produksinya dirangsang oleh kadar disakarida. Sedangkan enzim
laktase mulai terbentuk pada kehamilan 24 minggu dan kadarnya meningkat secara
perlahan sampai cukup usia kehamilan. Tetapi kadarnya tidak dipengaruhi kadar laktase
yang ada.
Oleh karena itu bayi kurang
bulan dapat mengalami
intoleransi laktosa fungsional.
Sehingga dapat menggunakan sumber
polimer glukosa, karena enzim yang dibutuhkan untuk mencerna jenis karbohidrat
ini sudah dibentuk pada usia kehamilan 24 minggu (Modanlou et al, 1996).
b. Protein
Digesti protein dimulai di
gaster dengan kerja pepsin (yang diaktifkan oleh pepsinogen) terhadap protein
utuh. Protein kemudian akan dialirkan ke duodenum dengan bantuan enzim-enzim
peptidase pankreas. Beberapa jenis enzim ini antara lain tripsin, kemotripsin,
karboksipeptidase A dan B, dan elastase akan memecah peptida menjadi rantai
yang lebih pendek. Peptida rantai pendek ini selanjutnya akan dipecah lagi oleh
peptidase yang ada mukosa usus halus dan akan diserap dalam bentuk asam amino
atau dipeptida untuk selanjutnya ditransport ke hepar. Digesti dan absorpsi
protein pada orang dewasa sangat efisien
mencapai 95% dari
protein. Walaupun bayi
cukup bulan dan kurang bulan mempunyai kadar kemotripsin,
karboksipeptidase dan elastase yang rendah tetapi bayi masih dapat mencerna
protein sampai 80% (Ronnholm et al, 1996).
c. Lemak
Makronutrien ini merupakan jenis
nutrien yang paling sulit dicerna oleh neonatus. Orang dewasa dapat mencerna
lemak sampai 95%, bayi cukup bulan mencerna antara 85- 90%, sedangkan bayi
kurang bulan hanya dapat mencerna lemak paling banyak 50% tergantung jenis
lemak yang diberikan. Digesti lemak pada neonatus dimulai di gaster melalui
kerja lipase yangdiproduksi di lingual dan mukosa gaster. Kedua enzim lipase
ini hampir identik dan bekerja ideal pada pH asam, enzim ini bekerja terutama
pada trigliserida rantai sedang (TRS) dan tidak memerlukan asam-asam empedu.
Diperkirakan kedua enzim ini
bertanggung jawab terhadap digesti sampai 50% lemak. Bayi yang mendapat ASI
mendapat keuntungan tambahan dengan adanya lipase yang diekskresi ke pada pH
netral seperti yang ditemukan di usus halus dan memerlukan asam empedu. Lipase
ini bertanggung jawab terhadap 20% digesti lemak. Asam lemak rantai panjang
memerlukan garam empedu untuk pembentukan micelle (ikatan lemak dengan garam
empede) yang adekuat dan disalurkan ke jaringan limfatik intestinal. Setelah
itu micelle akan dibawa ke sistem vena melalui duktus torasikus dengan tujuan
kahir hepar. Sebaliknya TRS tidak memerlukan pembentukan micelle dan dapat
langsung diabsorpsi ke dalam aliran darah. Karena kadar asam dan garam empedu
bayi kurang bulan masih rendah maka akan mengakibatkan kemampuan absorpsi lemak
terbatas.
Pemberian preparat
glukokorttikoid kepada wanita hamil akan mematangkan depo asam empedu bayi umur
kehamilan kurang dari 34 minggu setara dengan kadar pada bayi cukup bulan.
Tanpa pemberian preparat tersebut maka bayi kurang dari 34 minggu kehamilan
akan mengalami gangguan absorpsi lemak (termasuk vitamin yang larut dalam
lemak) (Cooke dan Embleton, 2000).
3.2 Kebutuhan Nutrisi
Tujuan pemberian nutrisi pada
bayi cukup bulan risiko tinggi untuk mencapai kecepatan tumbuh dan komposisi
tubuh seperti bayi sehat yang mendapat ASI. Menentukan kebutuhan nutrisi untuk
bayi kurang bulan bukan merupakan hal yang mudah, karena kecepatan tumbuh dan
komposisi tubuh yang ideal bayi kurang bulan yang sehat belum diketahui. Tetapi
beberapa pakar mengatakan bahwa secara umum bayi kurang bulan harus bertambah
berat badannya 10-15 gram/kgBB perhari, tumbuh linier sebanyak 0,75-1 cm per
minggu dan bertambah lingkar kepala 0,75 cm per minggu (Tsang et al, 1993).
Bayi kurang bulan membutuhkan
asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan bayi cukup bulan karena mempunyai
resting energy expenditure yang lebih tinggi dan kehilangan energi melalui fese
akibat belum matangnya fungsi absorpsi saluran cerna. Bayi kurang bulan dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu membutuhkan resting energy expenditure sebanyak
50-60 kkal/kgbb/hari. Sedangkan kehilangan kalori dari feses berkisar antara
10-40% dari total asupan kalori tergantung dari jenis diet yang dikonsumsi. Di
samping itu masih diperlukan lagi tambahan 50-60 kkal/kgbb/hari untuk
mempertahankan pertumbuhan sesuai kurva pertumbuhan intrauterin. Oleh karena
itu diperkirakan bayi kurang bulan akan mencapai pertumbuhan yang adekuat bila
diberikan asupan sebanyak 120 kkal/kgbb/hari (Tsang et al, 1993).
a. Cairan
Bila ASI tersedia dan tidak ada
indikasi kontra pemberian maka untuk mencapai kecepatan pertumbuhan intrauterin
harus diberikan ASI sebanyak 180-200 ml/kg/hari. Untuk memperbaiki pertumbuhan
dan mineralisasi tulang ke dalam ASI diberikan fortifikasi (Anderson et al,
1991).
Setiap Pusat Perawatan Neonatal
mempunyai protokol tersendiri mengenai tatalaksana nutrisi pada bayi risiko,
termasuk juga volume awal pemberian nutrisi enteral. Tabel dibawah ini dapat
dijadikan salah satu pedoman untuk memberikan volume awal nutrisi enteral pada
bayi risiko tinggi (Anderson et al, 1991).
Perlu diingat bahwa pedoman di
atas adalah untuk pemberian secara enteral (dengan pipa
naso/orogastrik/transpilorik),
sehingga buan mencerminkan
kemampuan bayi untuk minum peroral dan harus mempertimbangkan keadaan
individual bayi. Pertimbangkan untuk menambah volume agak cepat bila bayi dapat
mentoleransi lebih boleh melebihi 30 ml/kgbb/hari (Anderson et al, 1991).
Tabel
1. Jumlah pemberian cairan berdasarkan berat lahir
Berat lahir (gram)
|
Kecepatan Pemberian
(ml/kg/hari)
|
Penambahan Volume
(ml/kg/hari)
|
< 800
|
10
|
10-20
|
800-1000
|
10-20
|
10-20
|
1001-1250
|
20
|
20-30
|
1251-1500
|
30
|
30
|
1501-1800
|
30-40
|
30-40
|
1801-2500
|
40
|
40-50
|
>2500
|
50
|
50
|
Sumber : Anderson GH, Atkinson SA, Bryan MH (1991).
Energy and macronutrient
content of human milk during
early lactation from mothers giving birth prematurely and at term.
American Journal of Clinical Nutrition;34:258-265
|
b. Karbohidrat
Makronutrien ini memberi
kontribusi sekitae 41-44% dari seluruh kalori dalam ASI dan sebagian besar susu
formula. Di dalam ASI dan susu formula, karbohidrat tersedia dalam bentuk
laktosa, yang telah terbukti meningkatkan penyerapan kalsium. Formula kedelai
dan susu formula bebas laktosa menngandung karbohidrat dalam bentuk sukrosa,
maltodekstrin dan polimer glukosa. Dalam formula bayi kurang bulan untuk
mengurangi osmolalitas dan beban laktosa, sebagianlaktosa diganti dengan
polimer glukosa. Polimer glukosa dapat ditoleransi dengan baik oleh bayi kurang
bulan dengan respons glukosa dan
insulin yang sesuai
dengan susu yang
mengandung laktosa (Anderson et
al, 1991).
c.
Protein
Bayi kurang bulan membutuhkan
masukan protein kurang lebih sebesar 3,5 kg/kg/hari untuk bayi dengan berat
1200-1500 g dan 4,0 g/kg/hari untuk bayi berat 800- 1200 g.
Masukan protein melebih
4.0 g/kg/hari akan
menyebabkan stres metabolik terhadap bayi kurang bulan.
Bukan saja jumlahnya tetapi
kualitas protein yang diberikan juga
merupakan faktor penting.
Formula bayi kurang
bulan yang mengandung predominan protein whei dengan
perbandingan 60:40 whei kasein. ASI mempunyai distribusi asam amino yang ideal
untuk bayi. Bayi kurang bulan mendapat susu formula atau ASI donor. Ternyata
bayi berat lahir rendah yang minum ASI ibunya ditambah dengan forfikasi
menunjukkan perbaikan dalam pertumbuhan dan kadar albumin dan prealbumin
(transtiretin) serta fosfat darah yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak
diberikan fortifikasi (Kashyap dan Heird, 1994).
d.
Lemak
Makronutrien
ini merupakan sumber kalori utama untuk bayi, kurang lebih 50% kalori berasal
dari sumber lemak. Bayi kurang bulan mempunyai keterbatasan dalam mencerna dan
menyerap lemak tertentu. Faktor masih terbatasnya jumlah garam empedu dan enzim
lipase pankreas menyebabkan bayi tidak dapat mencerna trigliserida rantai
panjang (TRP) terutama dengan panjang rantai karbon 12-14.
ASI
mengandung garam empedu yang akan merangsang enzim lipase untuk meningkatkan
penyerapan lemak di duodenum. Susu formula bayi mengandung lemak jenis TRP yang
sulit dicerna oleh bayi, terbentuknya sabun kalsium dalam usus akan menyebabkan
kalsium tidak diserap oleh usus. Oleh karena itu diperlukan lemak yang tidak
membutuhkan garam empedu untuk emulsifikasinya dan trigliserida rantai menengah
(TRM). Formula dengan TRM telah terbukti meningkatkan penyerapan nitrogen,
kalsium dan magnesium. Formula bayi kurang bulan mengandung 50% lemak yang
berasal dari TRM (Cooke dan Embleton, 2000).
e. Vitamin (Kalhan dan Price,
1998)
a. Vitamin larut dalam lemak
Pada saat lahir bayi kurang
bulan dengan usia kehamilan kurang dari 36 minggu dilaporkan mempunyai kadar
serum retinol lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Selanjutnya pada usia
2 minggu kadar plasma retinol dan retinol binding protein makin menurun
terutama bila masukan vitamin A tidak adekuat. Retinol telah terbukti esensial
untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel serta telah dibuktikan pula berperan
dalam pencegahan dan pemulihan trauma paru. Defisiensi vitamin A berhubungan
dengan perubahan histopatologik pada paru seperti yang terllihat pada displasia
bronkopulmoner (BPD). Uji klinik acak buta ganda menunjukkan bahwa pemberian
vitamin A 5000 IU (1,5 mg) secara intravena 3 kali seminggu selama 4 minggu
meningkatkan status vitamin A, tetapi kurang bermakna dalam hal pencegahan
penyakit paru kronik.
b. Vitamin E
Vitamin E (tokoferol) berfungsi
sebagai anti oksidan untuk melindungi ikatan ganda sel lemak. Kebutuhan vitamin
E meningkat bila masukan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty
acid/PUFA) meningkat dan adanya stres oksidasi seperti masukan tinggi zat besi.
Defisiensi vitamin E jarang ditemukan pada bayi karena ke dalam susu formula
bayi telah diberikan fortifikasi vitamin E untuk mengantisipasi kandungan PUFA.
Tetapi bayi yang sedang minum ASI dan
mendapat suplementasi besi sebaiknya diberikan vitamin E tambahan. Suplementasi
vitamin E selama 1 minggu setelah
lahir dapat mencegah
perdarahan intrakaranial pada
bayi berat lahir
sangat rendah. Oleh karena penelitian menunjukkan meningkatnya risiko
sepsis dan EKN oada bayi berat lahir sangat rendah dengan kadar vitamin E serum
di atas 3.0 mg/dl, maka American Academic of Pediatrics merekomendasikan kadar
vitamin E serum harus di antara 1,0-2,0 mg/dl.
c. Vitamin
K
American Academy of Pediatrics
merekomendasikan 0’5-1,0 mg vitamin K harus diberikan kepada semua bayi baru
lahir sebagai pencegahan terjadinya penyakit perdarahan. Bayi kurang bulan
berada dalam risiko tinggi untuk mengalami defisiensi vitamin K
akibat rendahnya depo
dan penggunaan antibiotika
yang luas. Bayi yang mengalami asfiksia ternyata mempunyai
vitamin K yang rendah. ASI mempunyai kadar vitamin K yang rendah dan flora usus
bayi yang mendapat ASI menghasilkan vitamin K lebih sedikit dibandingkan bayi
yang minum susu formula. Oleh karena itu pemberian antibiotika meningkatkan
risiko defisiensi formula. Oleh karena itu pemberian antibiotika meningkatkan
risiko defisiensi vitamin K pada bayi yang mendapat ASI karena produksi endogen
berkurang.
d. Vitamin larut dalam air
Vitamin B 12 memerlukan kofaktor
untuk penyerapannya di ileum distal, oleh karena itu bayi yang mengalami
reseksi gaster atau ileum berisiko terjadinya defisiensi. Komplikasi neurologis
akibat defisiensi vitamin B 12 biasanya ireversibel.
Kadar asam folat serum mungkin
rendah pada bayi kurang bulan. Folat ditambahkan ke dalam multivitamin untuk
pemberian intravena dan formula bayi. Asam folat ini tidak tersedia dalam obat
tetes multivitamin untuk bayi karena ketidakstabilan sediannya. Folat mempunyai
peranan penting dalam sintesis DNA, defisiensi vitamin ini akan mengakibatkan
anemia megaloblastik, netropenia, trombositopenia, dan gagal tumbuh.
ASI mempunyai kandungan mineral
yang rendah terutama magnesium, kalsium, fosfor, sodium, klorida, dan besi.
Defisiensi besi terjadi pada bayi kurang bulan dengan berat kurang dari 2 kg,
kecuali diberikan suplementasi 2 mg/kg/hari. ASI mengandung besi dengan
bioavaibilitas tinggi tetapi jumlah yang dapat diserap tidak cukup untuk bayi
kurang bulan sehingga menyebabkan kadar feritin serum dan hemoglobin rendah
pada umur 3 bulan. Bayi prematur yang lebih kecil membutuhkan dosis besi yang
lebih tinggi.
Bayi berat kurang dari 1 kg membutuhkan
4 mg/kg/hari, setengahnya dipenuhi oleh susu formula yang difortifikasi
sedangkan sisanya harus disuplementasi sebesar 2 mg/kg/hari. Suplementasi besi
secara oral dapat mempengaruhi metabolisme vitamin E menjadi meningkat terutama
yang kadar tokoferol darahnya rendah.
ASI mengandung fluor dalam jumlah
sedikit walaupun ibunya mengkonsumsi air yang telah difluorisasi. Dianjurkan
untuk memberikan suplementasi fluor sebanyak 0,25 mg sehari pada bayi yang
mendapat ASI eksklusif. Komisi Nutrisi American Academic of Pediatrics
merekomendasikan suplementasi awal fluor 2 minggu setelah lahir untuk bayi
cukup bulan yang mendapat ASI, bayi yang mendapat susu formula bila air dalam
rumah tangga tidak mendapat fluorisasi 0,7-1,0 ppm dan bayi yang mendapat formula
siap pakai.
3.3 Nutrisi Parenteral
Nutrisi
parenteral biasanya diberikan
pada hari pertama
setelah bayi berisiko tinggi beradaptasi dengan lingkungan
ekstrauterin sebelum pemberian makanan secara enteral dimulai. Bayi prematur
dengan berat badan lahir sangat rendah memiliki risiko yang tinggi terjadinya
EKN dan nutrisi enteral harus diberikan secara berhati-hati.
Nutrisi parenteral harus
diberikan dalam 24 jam pertama
setelah lahir untuk
meningkatkan asupan energi dan homeostasis glukosa, menstabilkan balans
nitrogen dan menghindari defisiensi asam lemak esensial. Pemberian asam amino
sebagai bagian dari nutrisi parenteral
pada 24 jam
pertama setelah lahir
dihubungkan dengan balans
nitrogen, perbaikan toleransi glukosa, peningkatan sintesis protein dan
menstabilkan kadar plasma asam amino (Wiryo, 2004).
Nutrisi
parenteral dapat diberikan
melalui vena perifer
atau vena sentral. Pemberian melalui kateter pada vena
sentral dilakukan pada bayi yang membutuhkan nutrisi parenteral dalam jangka
panjang. Pemberian nutrisi parenteral bersifat sangat individual untuk bayi
prematur. Kelebihan cairan harus dihindari agar tidak terjadi EKN dan
perdarahan intraventrikular (Wiryo, 2004).
Insensible water loss (IWL) pada bayi
prematur dengan berat badan lahir sangat rendah sangat tinggi. Tingginya IWL
pada bayi prematur disebabkan evaporasi yang lebih besar. Kulit bayi prematur
disebabkan evaporasi yang lebih besar. Kulit bayi ini memiliki kandungan air
yang lebih tinggi, epidermis yang tipis dan sangat permeabel, lingkungan pada
ruang perawatan intensif yang mendorong peningkatan IWL seperti pemanas,
fototerapi, dan temperatur yang tinggi, sehingga kelembaban inkubator perlu
diperhatikan (Wiryo, 2004).
Bayi prematur dengan berat badan lahir
sangat rendah memiliki kemampuan terbatas untuk menghidrolisis trigliserida.
Peningkatan trigliserida serum lebih sering terjadi dengan
berkurangnya masa gestasi,
adanya infeksi, stres,
operasi mayor, malnutrisi dan
keadaan kurang masa kehamilan. Sangat mudah terjadi peningkatan bilirubin pada
bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah karena adanya kompetisi
antara asam lemak bebas dengan bilirubin indirek dalam mengikat bilirubin.
Oleh sebab itu
pemberian lipid secara
intravena harus dilakukan
dengan hati-hati terutama pada
bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah yang menderita
hiperbilirubinemia (Wiryo, 2004).
Beberapa cairan asam amino dapat
diberikan pada bayi prematur. Cairan tersebut mengandung sejumlah
nitrogen untuk sintesis
asam amino. Pemberian
cairan dapat memperbaiki balans
nitrogen (Wiryo, 2004).
3.4 Pemberian Nutrisi Enteral
Transisi dari nutrisi parenteral
ke nutrisi enteral adalah suatu proses yang lambat untuk meningkatkan toleransi
pemberian makanan yang bertujuan menghindari terjadinya EKN. Peningkatan jumlah
nutrisi enteral disesuaikan dengan penurunan volume nutrisi parenteral
(Georgieff et al, 1989).
Tujuan pemberian nutrisi enteral
adalah memberikan nutrien yang cukup untuk menyokong pertumbuhan ekstrauterin
tanpa menyebabkan efek yang merugikan terhadap pertumbuhan dan fungsi sistem
organnya (Balint dan Kliegman, 1989). Bayi prematur dengan BLSR diberikan
nutrisi enteral dengan pertimbangan sebagai berikut :
1.
Sebagian besar BBLSR dilahirkan dengan usia
kehamilan < 32 minggu. Mereka mempunyai kebutuhan gizi yang khusus karena
cepatnya laju pertumbuhan dan fungsi yang belum matang (WHO, 1990)
2.
Cadangan energi terbesar tubuh adalah bentuk
lemak yang memberikan energi sebesar 9 kal/gram (Kilbride, 1993). Sesuai dengan
pola pertumbuhan intra uterin dimana pembentukan otot dan jaringan lemak bawah
kulit pada trimester akhir kehamilan, maka energi dalam bentuk hidrat arang dan
lemak pada bayi prematur cenderung akan kurang. Demikian juga pada bayi yang
lahir dengan berat badan lahir sangat rendah (Kilbride et al, 1993). Tubuh bayi
matur mengandung 15% lemak dan bayi prematur dengan berat 1 kg hanya mengandung
2,3% (Zlotkin et al, 1985).
3.
Memberikan
nutrisi yang optimal
pada bayi-bayi ini
sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan tumbuh
kembang selanjutnya.
Bayi yang mendapat nutrisi
tidak adekuat akan mengalami penghentian pertumbuhan otak dan berisiko untuk
kerusakan otak permanen. Ini telah dibuktikan dengan hasil otopsi terhadap
otak bayi kurang
gizi yang memperlihatkan berkurangnya
jumlah sel dan defisiensi kandungan lipid serta
phospholipid (Kilbride et al, 1993). nutrisi enteral dapat menyokong
pertumbuhan bayi BBLSR dengan adekuat (Balint dan Kliegman, 1989).
4.
Proses pemberian makanan melalui mulut
memerlukan pengisapan yang kuat, kerjasama antara menelan dan penutupan
epiglotis serta uvula dari laring maupun saluran hidung, juga gerak esophagus
yang normal (Markum dkk, 1991). Bayi yang
dilahirkan pada usia
kehamilan 29--30 minggu
akan mulai mengisap beberapa hari setelah lahir.
Koordinasi yang baik antara mengisap dan menelan biasanya tidak tampak sampai
usia kehamilan 33-34 minggu (Pereira dan. Balmer, 1986).
5.
Aktivitas esofagus yang terorganisir belum
berkembang sampai usia kehamilan 34 minggu (WHO, 1990). Gelombang tekanan
lambung adalah lanjutan dari peristaltik esofagus. Pemeriksaan gerakan lambung
difokuskan pada pengosongan lambung (Slater et al, 1986). Kombinasi tekanan
yang rendah dan relaksasi esofagus yang panjang memudahkan terjadinya refluks
esofagus (WHO, 1990).
6.
Saluran cerna bayi baru lahir harus mampu untuk
melaksanakan fungsinya, antara lain fungsi digesti dan absorbsi nutrien,
mempertahankan keseimbangan cairan, serta fungsi proteksi terhadap toksin dan
alergen. Tergantung dari tingkat prematuritasnya, kemampuan
ini terbatas. Aktivitas
amilase yang diperlukan untuk digesti
karbohidrat belum terdeteksi
pada prematur dan
masih rendah sampai bayi berusia
4 bulan.
a. Waktu
Pemberian Nutrisi Enteral
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
memberi makan kepada bayi adalah perkembangan refleks hisap, menelan, motilitas
dan pengosongan lambung. Untuk dapat menelan bayi perlu mengkoordinasikan
gerakan ini dengan pernapasan, karena kedua proses tersebut terlibat secara
simultan dalam proses yang melalui nasofarings dan laringofaring.
Ketidakmampuan bayi untuk mengkoordinasi aktifitas ini dapat menyebabkan
sofokasi, aspirasi, dan muntah. Untuk mengevaluasi refleks hisap-menelan, harus
dimonitor jumlah menelan 1 kali per detik. Apabila menelan terdeteksi lebih
dari 2 kali per detik, kemungkinan bayi tidak dapat mengkoordinasi menelan.
Refleks hisap yang baik biasanya ditandai dengan otot temporal yang
menggembung.
Bila akan diperkenalkan susu
formula dengan menggunakan dot maka sebaiknya diberikan selama 20 menit dan
sisanya dengan pipa nasogastrik. Pada awalnya bayi hanya diberikan 1 kali dalam
24 jam, selanjutnya ditingkatkan sesuai toleransi bayi.
Karena gerakan menghisap membutuhkan energi
tambahan maka bayi perlu diberikan tambahan masukan kalori. Menunda pemberian
nutrisi enteral tidak akan mencegah timbulnya enterokolitis nekrotikans.
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa insiden EKN menurun pada bayi dengan
berat lahir 1250-2500 gram yang diberi nutrisi enteral awal dalam jumlah
sedikti (tropic feeding) memberikan keuntungan yaitu memberi makan sel-sel usus
dan menstimulasi produksi hormon-hormon usus yang akan mempercepat proliferasi
sel-sel usus yang penting untuk adaptasi usus setelah lahir (Hendarto, 2002).
Penelitian prospekstif dengan
memberikan nutrisi enteral sejumlah 10-20 ml/kgbb/hari yang dimulai pada hari
ketiga setelah lahir menunjukkan bayi lebih cepat menerima nutrisi
enteral secara penuh,
disamping itu jumlah
bayi yang mengalami ikterus dan osteopenia lebih
sedikit serta meningkatnya motilitas usus. Penelitian pemberian nutrisi enteral
awal (hari 1-8 setelah lahir) pada bayi kurang bulan yang sakit lebih baik,
penurunan bilirubin yang lebih cepat, lama pemberian fototerapi yang lebih
singkat, frekuensi kolestasis
lebih sedikit, kadar
alkalin fosfatase lebih
rendah, pematangan saluran cerna lebih cepat, peningkatan serum gastrin,
peningkatan toleransi pemberian makan dan waktu yang lebih cepat untuk dapat
menerima makanan enteral secara penuh (Hendarto, 2002).
Beberapa kondisi yang dapat
dijadikan pegangan untuk memulai memberikan nutrisi enteral antara lain : 1.
Tanda vital stabil, 2. Terdengar bising usus, 3. Abdomen tidak membuncit, 4.
Tidak ditemukan faktor-faktor risiko (asfiksia/nilai apgar rendah, sindrom
gawat napas, apneu/bradikard, sepsis, hipotensi), 5. Perkembangan fisis
(terdapat koordinasi menghisap dan menelan pada usia kehamilan 32-34 minggu,
volume gaster dan waktu pengosongan lambung) (Hendarto, 2002).
b. Nutrisi yang Diberikan
Secara umum tampaknya disepakati
bahwa nutrisi terbaik
adalah ASI karena merupakan metode pemberian nutrisi
yang lebih fisiologis. Walaupun ASI dari ibu bayi kurang bulan mempunyai kadar
protein, vitamin D, kalsium, fosfor dan natrium kurang mencukupi. Dibandingkan
dengan susu formula, bayi yang mendapat ASI yang diperas menunjukkan waktu
pengosongan lambung yang lebih cepat, frekuensi buang air besar lebih sering,
dan absorpsi lemak yang lebih baik.
Lebih lanjut yang juga penting
adalah pemberian ASI atau kombinasi ASI dan susu formula ternyata mengurangi
insiden terjadinya EKN. Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir sangat
rendah yang diberikan ASI juga mempunyai tekanan darah yang lebih rendah pada
usia akil balik dan pematangan susunan saraf pusat yang lebih cepat
dibandingkan bayi yang mendapat susu formula.
Bila bayi diberikan nutrisi
dengan volume 180ml/kg/hari, cukup untuk membuat protein tetap tidak mencukupi,
terutama untuk bayi berat kurang dari 1500g. Demikian pula untuk kandungan
fosfor dan natrium. Oleh karena itu ke dalam ASI harus diberikan suplementasi
protein, kalsium, fosfor, natrium, dan vitamin D. Bayi yang mendapat ASI harus
diberikan dengan fortifikasi mempunyai kenaikan berat badan yang lebih baik
dibandingkan dengan ASI yang tidak difortifikasi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa bayi kurang bulan yang diberikan ASI saja mempunyai pertumbuhan yang
kurang baik dibandingkan dengan yang diberikan susu formula prematur. Hal ini
dapat dimengerti karena rendahnya kadar protein dan mineral dalam ASI. Oleh
karena itu bayi kurang bulan harus diberikan ASI yang difortifikasi, susu
formula prematur atau kombinasi keduanya (Schanler et al, 1999).
Bila ASI
tidak tersedia, maka
kepada bayi diberikan
susu formula prematur sampai bayi dapat mentoleransi sus
formula biasa. Untuk dapat memberikan formula yang tepat untuk bayi yang sedang
sakit maka diperlukan pemahaman tentang spesifikasi dan perbedaan-perbedaannya
(Schanler et al, 1999).
a)
Formula bayi kurang bulan
Formula bayi kurang bulan mengandung
kadar laktosa yang rendah yaitu sekitar 50%, sisanya adalah polimer glukosa
yang lebih mudah dicerna. Protein susu formula kurang bulan didominasi oleh
protein whei yang telah terbukti lebih rendah menyebabkan asidosis metabolik
pada bayi. Begitu pula dengan resiko terbentuknya laktobezoar lebih kecil.
Konsentrasi protein per liter sekitar 50% lebih tinggi dibandingkan susu
formula biasa sehingga memberikan 3-4 g/kg/hari protein. Kandungan lemak
terdiri dari 50% trigliserida
rantai panjang (TRP)
dan 50% trigliserida
rantai menengah (TRM).
Kandungan kalsium dan fosfor lebih
tinggi dibandingkan dengan susu formula biasa dibandingkan dengan
1,4:1 sampai 1,5:1
dalam susu formula
standar. Formula bayi kurang bulan selalu mempunyai kandungan
rendah besi (3 mg besi elemental/L) karena bayi sering mendapat transfusi,
disamping itu penggunaan besi akan menyebabkan kebutuhan vitamin E meningkat.
Kandungan natrium formula bayi kurang bulan lebih tinggi dibandingkan ASI dan
susu formula biasa. Karena kebutuhan bayi akan natrium bervariasi, ada
kemungkinan jumlah ini tidak mencukupi, oleh karena itu mungkin diperlukan
suplementasi NaCl 3%. Keuntungan lain formula bayi kurang bulan selain
kandungan nutriennya tinggi juga isoosmoler. Suplementasi formula bayi kurang
bulan dengan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang (long chain poly
unsaturated fatty acid/LCPUFAs) masih diperdebatkan walaupun penelitian ini
menunjukkan efek menguntungkan Pada fungsi penglihatan bayi (Sisk et al, 2006).
b)
Susu formula awal
Susu formula awal Mengandung 100%
laktosa dengan lemak jenis TRP yang berasal dari minyak tumbuhan biasanya
kedelai dan minyak kacang. Sebagian besar formula standar didominasi oleh
protein whei dengan perbandingan whei 60% dan kasein 40%. Terdapat dalam 2
bentuk sediaan yaitu yang belum dan telah diberikan fortifikasi besi. Tersedia
dalam bentuk siap pakai, konsentrat cair dan bubuk. Formula ini mempunyai
osmolalitas kurang lebih 300 mOsm/l. Pemekatan formula ini dengan tujuan
menambah kalori tidak dianjurkan karena akan menambah renal solute load yang
akan membebani ginjal. Apabila ingin menambah kekentalan, maka dapat diberikan
tambahan polimer glukosa atau lemak (minyak tumbuhan/minyak TRS). Umumnya susu
formula ini dapat diberikan bila bayi telah mencapai berat 2000 gram dengan
catatan bayi tidak mendapat nutrisi parenteral dalam jangka waktu panjang
(Kalhan dan Price, 1998).
c)
Formula kedelai
Formula ini mengandung sukroses dan
corn syrup solid sebagai sumber karbohidrat, sedangkan lemaknya berasal dari
kedelai atau minyak kacang yang mengandung TRP. Semua formula kedelai telah
difortifikasi dengan besi. Walaupun formula ini dipakai juga untuk bayi dengan
alergi susu sapi tetapi American Academic of Pediatric mengharuskan
pemakaiannya secara hati-hati karena kemungkinan bayi juga alergi terhadap
formula ini. Penggunaan formula kedelai untuk bayi berat lahir rendah tidak
dianjurkan suplementasi kalsium, fosfor dan vitamin D (Garcia-Lafuente et al, 2001).
d)
Formula protein hidrolisat
Formula ini digunakan untuk bayi yang
menderita alergi susu sapi atau susu kdelai. Beberapa formula protein
hidrolisat juga bersifat elemental dengan karbohidrat yang mudah diserap
seperti polimer glukosa dan sumber lemak dari TRM. Formula semacam ini kadang
juga digunakan pada bayi yang mengalami diare intraktabel atau resesksi usus.
Formula ini mempunyai waktu transit disaluran cerna 2 jam lebih cepat
dibandingkan susu formula (Kalhan dan Price, 1998).
3.5 Cara Memberikan Nutrisi Enteral
Dahulu pemberian nutrisi secara
naso/orojejunal sangat populer, salah satu alasannya karena lemak jadi lebih
mudah dicerna. Tetapi penelitian terakhir menunjukkan angka mortalitas yang
meningkat dengan penggunaan rute ini, sehingga tidak dianjurkan lagi (Okada et
al, 1998).
Tabel
2. Metode pmberian nutrisi enteral pada bayi berat lahir sangat rendah
Metode
|
Pertimbangan
|
ASI/botol
|
Metode paling fisiologis
Bayi dengan masa
gestasi paling sedikit 32-34 minggu
Bayi secara medis
stabil
Laju napas kurang dari 60 kali permenit
|
Pipa Naso/orogastsrik
|
Suplementasi
ASI/botol
Pertimbangkan untuk bayi dengan gestasi kurang dari
32 minggu
Digunakan bila laju napas lebih dari 80 kali per menit
Bayi dengan intubasi
Bayi dengan kelainan neurologik
|
Pipa Transpilorik
|
Tidak ada
toleransi terhadap
pemberian
Naso/orogastrik
Bayi dengan risiko aspirasi Bayi dengan intubasi
Motilitas usus menurun
|
Gastrostomi
|
Malformasi
gastrointestinal
Kelainan neurologik
|
Sumber : Kalhan
SC, Price PT
(1998). Nutrition for
the hight risk
infant.
Penelitian yang
mengukur fungsi paru
neonatus normal yang
terpasang nasogastrik dan orgastrik menunjukkan bayi yang menggunakan
nasogastrik mengalami penurunan minute ventilation, frekuensi napas dan
meningkatkan resistensi paru serta meningkatnya upaya napas dan tekanan puncak
transpulmonal. Sedangkan penelitian pada bayi kurang kurang bulan menunjukkan
peningkatan insiden periodik apneu dengan pemasangan pipa nasogastrik.
Pada saat ini pemilihan antara
rute oro dan nasogatrik lebih banyak mempertimbangkan faktor estetik
dibandingkan kepentingan klinisnya. Rute transpilorik digunakan apabila pasien
tidak dapat mentoleransi pemberian nutrisi secara oro/nasogastrik. Gastrostomi
digunakan bila pemberian
menggunakan pipa naso/orogastrik
yang berlangsung lama, terdapat refluks gastroesofageral persisten yang tidak
responsif dengan pengobatan medikamentosa atau ada kelainan anatomi esofagus. Tetapi
beberapa pusat perawatan neonatal sudah tidak mempergunakan rute pemberian ini
(Okada et al, 1998).
Tabel 2 dapat dijadikan pedoman
untuk menentukan metode yang akan digunakan dalam memberikan nutrisi enteral
pada bayi kurang bulan (Kalhan dan Price, 1998).
3.6 Pemberian Secara Kontinyu atau Intermiten
Perdebatan mengenai mana yang lebih baik antara pemberian nutrisi
enternal secara intermitten atau kontinyu sampai saat ini masih terjadi.
Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diberikan nutrisi enteral secara
kontinyu mengalami kenaikan berat badan lebih besar dan insiden apneu lebih
sedikit. Tetapi penelitian lain tidak menunjukkan adanya perbedaan baik untuk
pertumbuhan maupun insiden terjadinya periodik apne. Penelitian di Israel
menunjukkan bahwa bayi diberikan nutrisi enteral secara intermitten
dapat menerima nutrisi
enteral lebih cepat
dibandingkan yang diberikan secara
kontinyu.
Pemberian
ASI secara kontinyu
tidak direkomendasikan karena
lemak akan banyak hilang di dalam pipa selama pemberian. Selain itu pada akhir
pemberian, sejumlah besar endapan lemak akan masuk ke dalam pembuluh darah bayi
yang dapat menyebabkan emboli (Toce et al, 1987).
3.7 Peralihan Ke Susu Formula Awal/Pemberian Nutrsi Pasca Rawat
Bayi yang mendapat ASI dengan
fortifikasi yang diteruskan setelah pulang mempunyai kecepatan penambahan
mineralisasi tulang yang lebih lambat. Setelah mendapat makanan tambahan
kecepatan mineralisasi tulang sama seperti bayi yang mendapat susu formula (Lucas et al, 1992).
Bayi berat lahir rendah yang
mendapat formula prematur setelah berat mencapai 1850 g di rawat lebih singkat
di RS dibandingkan suplementasi mineral. Bayi berat lahir rendah yang mendapat
susu formula prematur selama 2 bulan setelah keluar dari Rumah Sakit mempunyai
kandungan tinggi mineral tulang dan kadar rendah hormon paratiroid 2 bulan
kemudian, dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula awal. Penelitian
tersamar ganda menunjukkan bahwa bayi prematur yang mendapat formula khusus 72
kkal/100ml di rumah mempunyai kecepatan pertumbuhan linier dan kenaikan berat
badan yang lebih cepat (Lucas et al, 1992).
Penelitian yang membandingkan
pemberian susu formula awal dengan dan tanpa suplementasi pada bayi setelah
pulang dari Rumah Sakit menunjukkan bahwa kenaikan berat badan dan pertumbuhan
linier lebih tinggi pada bayi yang mendapat suplementasi. Demikian pula bayi
yang diberikan susu formula prematur mempunyai pertumbuhan berat badan, panjang
badan dan lingkar kepala yang lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
mendapat susu formula awal. Penelitian lain menunjukkan bayi yang mendapat susu
formula awal dengan suplementasi setelah pulang dari Rumah Sakit ternyata yang
mengalami peningkatan pertumbuhan terutama lingkaran kepala (Lucas et al,
1992).
Sebagai kesimpulan, tatalaksana
nutrisi untuk bayi risiko tinggi bervariasi antar tiap Pusat Perawatan Neonatus
walaupun saat ini makin menuju kearah keseragaman. Untuk dapat memberikan
nutrisi enteral yang adekuat diperlukan pemahaman fisiologi saluran cerna dan
spesifikasi tiap jenis nutrisi enteral. Bayi risiko tinggi memerlukan
tatalaksana nutrisi yang adekuat bukan saja saat menjalani perawatan tetapi
juga pasca rawat (Lucas et al, 1992).
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson GH, Atkinson SA, Bryan MH
(1991). Energy and macronutrient content of human milk during early lactation
from mothers giving birth prematurely and at term. American Journal of Clinical
Nutrition;34:258-265
Aminullah A (1997). Penanganan Komprehensif untuk
memenuhi kebutuhan bayi kurang bulan. Dalam: Suradi R, Monintja HE, Amalia P,
Kusumowardhani D, penyunting. Penanganan Mutahir Bayi Prematur. Naskah lengkap
PKB - IKA FK-UI XXXVHI Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
Balint JP, Kliegman RM (1989).
Nutritional Support of the Neonate I: Alternate Fulls dan Routes of
Administration. Dalam: Cowett RM, penyunting. Principles of perinatal neonatal
metabolisme, Edisi ke-2. New York: Springer. pp 1153-79.
Carlson SE, Cooke RJ, Rhodes PG, Peeples
JM, Werkman SH. Effect of vegetable and marine oils in preterm infant
formulas on blood
arachidonic and docosahexaenoic acids.
J Pediatr
1992;120:S159-S167
Garcia-Lafuente A, Antolin M, Guarner F
(2001). The use of soy protein-based
formula: recommendation for use in infant feeding. Pediatr;48:503–7.
Georgieff MK,
Mills MM, Lindeke
L, Iverson S,
Johnson DE, Thompson
TR (1989). Changes
in nutritional management and outcome of very-low-birth-weight infants.
Am J Dis Child;143:82-85
Hendarto A (2002). Nutrisi enteral pada
bayi dengan risiko tinggi. Dalam: Trihono PP, Purnamawati S, Syarif DR, Hegar
B, Gunardi H, Oswari H, Kadim M. Hot Topic in Pediatrics II. FKUI, Jakarta. hal
182-90
Johnson
LR (1994). Regulation of intestinal growth. In:
Green M, Greene HL,
eds. The role of the intestinal tract in nutrient delivery. Orlando:
Academic Press,;1-15.
Kalhan SC, Price PT (1998). Nutrition
for the hight risk infant. BMJ;317:1481-1487
Kashyap S, Heird W (1994). Protein
requirements of low birthweight, very low birthweight, and small for
gestational age infants. In: Raiha NCR, ed. Protein metabolisn during infancy.
New York: Raven Press;133-151.
Kilbride HW, Bendrof K, Wheeler R
(1993). Total Parenteral nutrition. Dalam: Merenstein GB, Gardner
SL, penyunting. Handbook of Neonata
Intensive Care; edisi ke-3. St. Louis Mosby Year Book. pp
207-23.
Latt SA (1984). Fetal growth and
neonatal adaptation. Dalam: Avery ME, Taeusch HW, penyunting.
Disease of the Neoborn, Edisi ke-5.
Philadelphia: WB Saunders Co. pp 43-52.
Lucas A, Bishop NJ, King FJ, Cole TJ
(1992). Randomised trial of nutrition for preterm infants after discharge. Arch
Dis Child;67:324-327
Markum AH, Monintja HE, Boetjang RF
(1991). Prematuritas dan retardasi pertumbuhan dalam: Markuni
AH, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Jilid 1. BIKA FKUI. Jakarta. pp 224-40.
Modanlou HD, Lim MO, Hansen JW, Sickles
V (1996). Growth, biochemical status, and mineral metabolism in very-low-birth-
weight infants receiving fortified preterm human milk. J Pediatr Gastroenterol
Nutr;5:762-767
Okada Y, Klein N, van Saene HK (1998).
Enteral feeding of micropemie. J Pediatr Nutr;33:16–19
Pereira GR. Balmer D (1986). Feeding the
critically ill neonate. Dalam: Splitzer AR, penyunting. Intensive care of the
fetus and neonate. St. Louis: Mosby. pp 823-33
Ronnholm KA, Perheentupa J, Siimes MA
(1996). Supplementation with human milk protein improves growth of small
premature infants fed human milk. Pediatrics;77:649-653
Schanler RJ, Shulman RJ, Lau C (1999)
Feeding Strategies for Premature Infants: Beneficial Outcomes of
Feeding Fortified Human Milk Versus
Preterm Formula. PEDIATRICS Vol. 103 No. 6 June, pp.
1150-1157
Sitohang
NA (2004) Asuhan
keperawatan pada bayi
berat badan lahir
rendah. Program Studi
Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan. 2004